Selasa, 22 April 2014

Hadist Tentang Menuntut Ilmu

Share it Please
                                


HADIST TENTANG MENUNTUT ILMU


 Ilmu merupakan kunci untuk menyelesaikan segala persoalan, baik persoalan yang berhubungan dengan kehidupan beragama maupun persoalan yang berhubungan dengan kehidupan duniawi. Ilmu diibaratkan dengan cahaya, karena ilmu memiliki pungsi sebagai petunjuk kehidupan manusia, pemberi cahaya bagi orang yang ada dalam kegelapan.
    Orang yang mempunyai ilmu mendapat kehormatan di sisi Allah dan Rasul-Nya. Banyak ayat Al-Qur’an yang mengarah agar umatnya mau menuntut ilmu, seperti yang terdapat dalam Qs Al Mujadalah ayat 11:


يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ
Artinya :
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.s. al-Mujadalah : 11)
   Selain itu banyak hadits Nabi Saw yang mendorong agar umat Islam bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu. Di bawah ini terdapat hadits Nabi Saw yang berkenaan dengan kewajiban menuntut ilmu diantaranya:

A. Hadits tentang keharusan meniru orang yang banyak ilmu 

  Perhatikan baik-baik hadits Rasulullah saw di bawah ini!

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ النَِّبيُ صلى الله عليه وسلم : لاَحَسَدَ إِلاَ فِي اثْنَتَيْنِ : رَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ مَا لاً فَسُِّلطَ عَلىَ هَلَكِتهِ فيِ الَحقّ ِ, وَ رَجُلٌ أَتَاهُ اللهُ الْحِكْمةَ فَهُوَ يَقْضِى ِبهَا وَيُعَلِمُهَا (رواه البجاري)

Sebelum menterjemahkan secara keseluruhan hadits tersebut, marilah kita lihat terlebih dahulu terjemahannya secara harfiyah (kata-perkata) berikut ini :

Arti Harfiah Cara Membaca Tulisan Arab
Janganlah hasud Laa hasada لاَحَسَدَ
kecuali seperti dua orang ini. Illa fitsnataini إِلاَ فِي اثْنَتَيْنِ
orang yang diberi Allah Rojulun ataahullohu أَتَاهُ اللهُ رَجُلٌ
kekayaan berlimpah Malaan مَا لاً
dan ia membelanjakannya Fasullitho فَسُِّلطَ
Dengan benar Fil Haqqi في الحق
Hikmah Al-Hikmata الْحِكْمة
ia berprilaku sesuai dengannya Fa Huwa Yaqdhi فَهُوَ يَقْضِى
dan mengajarkannya Wayu’allimuha وَيُعَلِمُهَا

Artinya :
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. Nabi Muhamad pernah bersabda :”Janganlah ingin seperti orang lain, kecuali seperti dua orang ini. Pertama orang yang diberi Allah kekayaan berlimpah dan ia membelanjakannya secara benar, kedua orang yang diberi Allah al-Hikmah dan ia berprilaku sesuai dengannya dan mengajarkannya kepada orang lain (HR Bukhari)

   Hadits di atas mengandung pokok materi yaitu seorang muslim harus merasa iri dalam beberapa hal. Memang iri atau perbuatan hasud adalah perbuatan yang dilarang dalam ajaran Islam, tetapi ada dua hasud yang harus ada pada diri seorang muslim, yaitu pertama menginginkan banyak harta dan harta itu dibelanjakan di jalan Allah seperti dengan berinfaq, shadaqah dan lainnya. Harta ini tidak digunakan untuk berbuat dosa dan maksiat kepada Allah, kedua menginginkan ilmu seperti yang dimiliki orang lain, kemudian ilmu itu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, juga diajarkan kepada orang lain dengan ikhlash.

  Hukum mencari ilmu itu wajib, dengan rincian, pertama hukumnya menjadi fardhu ‘ain untuk mempelajari ilmu agama seperti aqidah, fiqih, akhlak serta Al-Qur’an. Ilmu-ilmu ini bersipat praktis, artinya setiap muslim wajib memahami dan mempraktekkan dalam pengabdiannya kepada Allah. Fardu ‘ain artinya setiap orang muslim wajib mempelajarinya, tidak boleh tidak.
  Dan kedua hukumnya menjadi fardu kifayah untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum seperti : ilmu sosial, kedokteran, ekonomi serta teknologi. Fardu Kifayah artinya tidak semua orang dituntut untuk memahami serta mempraktekkan ilmu-ilmu tersebut, boleh hanya sebagian orang saja.

  Kewajiban menuntut ilmu ini ditegaskan dalam hadits nabi, yaitu :
رواه إبن عبد البر)) طَلَبُ اْلعِلْمَ فَرِيْضِةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ
Artinya :
Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi muslimin dan muslimat”(HR. Ibnu Abdil Bari)

  Secara jelas dan tegas hadits di atas menyebutkan bahwa menuntut ilmu itu diwajibkan bukan saja kepada laki-laki, juga kepada perempuan. Tidak ada perbedaan bagi laki-laki ataupun perempuan dalam mencari ilmu, semuanya wajib. Hanya saja bahwa dalam mencari ilmu itu harus tetap sesuai dengan ketentuan Islam.
Kewajiban menuntut ilmu waktunya tidak ditentukan sebagimana dalam shalat, tetapi setiap ada kesempatan untuk menuntutnya, maka kita harus menuntut ilmu. Menuntut ilmu tidak saja dapat dilaksanakan di lembaga-lembaga formal, tetapi juga dapat dilakukan lembaga non formal. Bahkan, pengalaman kehidupanpun merupakan guru bagi kita semua, di mana kita bisa mengambil pelajaran dari setiap kejadian yang terjadi di sekeliling kita. Begitu juga masalah tempat, kita dianjurkan untuk menuntut ilmu dimana saja, baik di tempat yang dekat maupun di tempat yang jauh, asalkan ilmu tersebut bermanfaat bagi kita. Nabi pernah memerintahkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu walaupun sampai di tempat yang jauh seperti negeri China.

  Selain itu menuntut ilmu itu tidak mengenal batas usia, sejak kita terlahir sampai kita masuk kuburpun kita senentiasa mengambil pelajaran dalam kehidupan, dengan kata lain Islam mengajarkan untuk menuntut ilmu sepanjang hayat dikandung badan. Sebagaimana tercantum dalam hadits nabi :
أُطْلُبُ الْعِلْمَ مِنَ الْمَحْدِ إِلَى اللَّهْدِ (رواه مسلم)
Artinya
“Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahat”(HR. Muslim)

B. Hadits yang menjelaskan keutamaan orang yang menuntut ilmu

 Rasulullah bersabda tentang keutamaan menuntut ilmu sebagai berikut :
مَْن سَلَكَ طَرِْيقًا َيلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَرِيْقًا ِإلىَ اْلجَنَّةِ (رواه مسلم)
Perhatikan terjemahan secara harfiah dibawah ini :
Arti Harfiah Cara Membaca Tulisan Arab
Barang siapa yang menempuh Man salaka مَْن سَلَك
suatu jalan Thoriiqon طَرِْيقًا
Ilmu ‘ilman عِلْمًا
Allah akan memudahkan Sahhalalloohu سَهَّلَ اللهُ
Baginya Lahu لَهُ
Jalan menuju surga Thoriiqon ilal jannah طَرِيْقًا ِإلىَ اْلجَنَّةِ

Terjemah secara lengkap :
Barang siapa yang menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga (HR Muslim)

  Hadits di atas memberi gambaran bahwa dengan ilmulah surga itu akan didapat. Karena dengan ilmu orang dapat beribadah dengan benar kepada Allah Swt dan dengan ilmu pula seorang muslim dapat berbuat kebaikan. Oleh karena itu orang yang menuntut ilmu adalah orang yang sedang menuju surga Allah.
  Mencari ilmu itu wajib, tidak mengenal batas tempat, dan juga tidak mengenal batas usia, baik anak-anak maupun orang tua. Kewajiban menuntut ilmu dapat dilaksanakan di sekolah, pesantren, majlis ta’lim, pengajian anak-anak, belajar sendiri, penelitian atau diskusi yang diselenggrakan oleh para remaja mesjid.
Ilmu merupakan cahaya kehidupan bagi umat manusia. Dengan ilmu, kehidupan di dunia terasa lebih indah, yang susah akan terasa mudah, yang kasar akan terasa lebih halus. Dalam menjalankan ibadah kepada Allah, harus dengan ilmu pula. Sebab beribadah tanpa didasarkan ilmu yang benar adalah sisa-sia belaka. Oleh karena itu dengan mengamalkan ilmu di jalan Allah merupakan ladang amal (pahala) dalam kehidupan dan dapat memudahkan seseorang untuk masuk ke dalam surga Allah.
   Allah sangat mencintai orang-orang yang berilmu, sehingga orang yang berilmu yang didasarkan atas iman akan diangkat derajatnya oleh Allah, sebagaimana firman-Nya:
يَرْفَعِ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرُُ
Artinya :
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Q.s. al-Mujadalah : 11)

   Keutamaan lainnya dari ilmu adalah dapat mencapai kebahagiaan baik di dunia ataupun di akhirat. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadits nabi :
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ وَ مَنْ أَرَادَ ْالآخِرَةِ فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ وَ مَنْ أَرَادَ هُمَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ (رواه الطبراني)
Artinya
Barangsiapa yang menginginkan kehidupan dunia, mak ia harus memiliki ilmu, dan barang siapa yang menginginkan kehidupan akhirat maka itupun harus dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan keduanya maka itupun harus dengan ilmu (HR. Thabrani)


   Kebahagian di dunia dan akhirat akan dapat diraih dengan syarat memiliki ilmu yang dimanfa’tkan. Manfa’at ilmu pengetahun bagi kehidupan manusia, antara lain :
1. Ilmu merupakan cahaya kehidupan dalam kegelapan, yang akan membimbimg manusia kepada jalan yang benar
2. Orang yang berilmu dijanjikan Allah akan ditinggikan derajatnya menjadi orang yang mulia beserta orang-orang yang beriman
3. Ilmu dapat membantu manusia untuk meningkatkan taraf hidup menuju kesejahteraan, baik rohani maupun jasmani
4. Ilmu merupakan alat untuk membuka rahasia alam, rahasia kesuksesan hidup baik di dunia maupun di akhirat






Makna Ikhlas Dalam Ibadah


Ketahuilah wahai saudaraku kaum muslimin -semoga Allah memberikan hidayah kepadaku dan kepada kalian untuk berpegang teguh kepada Al-Kitab dan As-Sunnah-, sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menerima suatu amalan apapun dari siapa pun kecuali setelah terpenuhinya dua syarat yang sangat mendasar dan prinsipil, yaitu:
1.    Amalan tersebut harus dilandasi keikhlasan hanya kepada Allah, sehingga pelaku amalan tersebut sama sekali tidak mengharapkan dengan amalannya tersebut kecuali wajah Allah Ta’ala.
2.    Kaifiat pelaksanaan amalan tersebut harus sesuai dengan petunjuk Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-.
Dalil untuk kedua syarat ini disebutkan oleh Allah Ta’ala dalam beberapa tempat dalam Al-Qur`an. Di antaranya:
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya”. (QS. Al-Kahfi : 110)
Al-Hafizh Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata dalam Tafsirnya (3/109) menafsirkan ayat di atas, “[Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh], Yaitu apa-apa yang sesuai dengan syari’at Allah, [dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Rabbnya] yaitu yang hanya diinginkan wajah Allah dengannya tanpa ada sekutu bagi-Nya. Inilah dua rukun untuk amalan yang diterima, harus ikhlas hanya kepada Allah dan benar di atas syari’at Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam-”.
Dan juga Firman Allah Ta’ala:
“Dia lah yang menjadikan mati dan hidup, agar Dia menguji kalian, siapa di antara kalian yang paling baik amalannya”. (QS. Al-Mulk : 2)
Al-Fudhoil bin Iyadh -rahimahullah- sebagaimana dalam Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiah -rahimahullah- (18/250) berkata ketika menafsirkan firman Allah ["siapa di antara kalian yang paling baik amalannya”], “(Yaitu) Yang paling ikhlas dan yang paling benar. Karena sesungguhnya amalan, jika ada keikhlasannya akan tetapi belum benar, maka tidak akan diterima. Jika amalan itu benar akan tetapi tanpa disertai keikhlasan, maka juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan benar. Yang ikhlas adalah yang hanya (diperuntukkan) bagi Allah dan yang benar adalah yang berada di atas sunnah (Rasulullah -shallallahu alaihi wasallam-)”.
Berikut uraian kedua syarat ini:
Syarat Pertama: Pemurnian Keikhlasan Hanya Kepada Allah
Ini adalah konsekuensi dari syahadat pertama yaitu persaksian bahwa tidak ada sembahan yang berhak untuk disembah dan diibadahi kecuali hanya Allah -Subhanahu wa Ta’ala- semata serta meninggalkan dan berlepas diri dari berbagai macam bentuk kesyirikan dan penyembahan kepada selain Allah Ta’ala.
Ada banyak dalil yang menopang syarat ini, di antaranya:
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Kitab (Al Qur’an) kepadamu dengan (membawa) kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik)”. (QS. Az-Zumar : 2-3)
Allah Ta’ala berfirman:
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku diperintahkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”. (QS. Az-Zumar : 11)
Dan dalam firman-Nya:
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”. (QS. Al-Bayyinah : 5)
Adapun dari As-Sunnah, maka Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- telah menegaskan dalam sabda beliau:
“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung dengan niatnya masing-masing, dan setiap orang hanya akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Maka, barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya karena dunia yang hendak dia raih atau karena perempuan yang hendak dia nikahi, maka hijrahnya kepada sesuatu yang dia hijrah kepadanya”. (HR. Al-Bukhari no. 54, 2392 dan Muslim no. 1907 dari sahabat Umar bin Al-Khaththab -radhiallahu anhu-)
Kemudian, keikhlasan yang diinginkan di sini adalah mencakup dua perkara:
1.    Lepas dari syirik ashgar (kecil) berupa riya` (ingin dilihat), sum’ah (ingin didengar), keinginan mendapatkan balasan duniawi dari amalannya, dan yang semisalnya dari bentuk-bentuk ketidakikhlasan. Karena semua niat-niat di atas menyebabkan amalan yang sedang dikerjakan sia-sia, tidak ada artinya dan tidak akan diterima oleh Allah Ta’ala.
Rasulullah -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- bersabda bahwa Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsy:
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan apapun yang dia memperserikatkan Saya bersama selain Saya dalam amalan tersebut, maka akan saya tinggalkan dia dan siapa yang dia perserikatkan bersama saya”. (HR. Muslim no. 2985 dari Abu Hurairah -radhiallahu anhu-)
Kata “dia” bisa kembali kepada pelakunya dan bisa kembali kepada amalannya, Wallahu A’lam. Lihat Fathul Majid hal. 447.
Bahkan Allah Ta’ala telah menegaskan:
“Barangsiapa yang menghendaki (dengan ibadahnya) kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Hud : 15-16)
2.    Lepas dari syirik akbar (besar), yaitu menjadikan sebahagian dari atau seluruh ibadah yang sedang dia amalkan untuk selain Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Perkara kedua ini jauh lebih berbahaya, karena tidak hanya membuat ibadah yang sedang diamalkan sia-sia dan tidak diterima oleh Allah, bahkan membuat seluruh pahala ibadah yang telah diamalkan akan terhapus seluruhnya tanpa terkecuali.
Allah Ta’ala telah mengancam Nabi Muhammad -Shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam- dan seluruh Nabi sebelum beliau dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) yang sebelummu: “Jika kamu berbuat kesyirikan, niscaya akan terhapuslah seluruh amalanmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Az-Zumar : 65)
Dari syarat yang pertama ini, sebagian ulama ada yang menambahkan satu syarat lain diterimanya amalan, yaitu: Aqidah pelakunya haruslah aqidah yang benar, dalam artian dia tidak meyakini sebuah aqidah yang bisa mengkafirkan dirinya.
Contoh: Ada seseorang yang shalat dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, hanya saja dia meyakini bahwa Allah Ta’ala berada dimana-mana. Keyakinan dia ini adalah keyakinan yang kafir karena merendahkan Allah, yang karenanya shalatnya tidak akan diterima.
Contoh lain: Seseorang yang mengerjakan haji dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, hanya saja dia meyakini bahwa ada makhluk yang mengetahui perkara ghaib. Maka hajinya pun tidak akan diterima karena dia telah meyakini keyakinan yang rusak lagi merupakan kekafiran.
Karena tempat yang terbatas, insya Allah pembahasan syarat yang kedua akan kami sebutkan pada dua edisi mendatang, wallahu a’lam bishshawab.
[Rujukan: Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, bab keempat. Yang ditulis oleh Ust. Abu Muawiah Hammad -hafizhahullah- dengan beberapa perubahan]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow The Author